Hubungan Psikologi Dakwah antara Da'i dan Mad'u

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Jiwa bukan hanya dibahas oleh psikologi dan filsafat, tetapi juga oleh agama. Al Qur’an dan Hadis banyak sekali berbicara tentang jiwa (nafs). Dalam sejarah keilmuan Islam, Al Qur’an sangat mendorong penganutnya untuk menggunakan akalnya. Psikologi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan dan mengendalikan peristiwa metal dan tingkah laku manusia. Tingkah laku manusia merupakan ekspresi dari jiwanya. Untuk memahami karakter Mad’u dibutukannya ilmu psikologi.
Islam merupakan agama dakwah, yakni agama yang harus didakwahkan kepada umat manusia, tidak ada yang membantah. Dakwah sendiri adalah usaha memengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku seperti apa yang diinginkan oleh Da’i.  Seorang Da’i dalam mengajak atau mendorong Mad’u harus mampu merumuskan tujuan yang menarik hati Mad’u. Dakwah juga harus di sampaikan secara persuasif, yakni dengan menggunakan cara berpikir dan cara merasa masyarakat yang di dakwahi, sehingga mereka menerima dan mematuhi seruan Da’i.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian psikologi dakwah?
2.      Apa pengertian da’i dan mad’u?
3.      Bagaimana karakteristik da’i dan mad’u?
4.      Bagaimana hubungan antara da’i dan mad’u?
5.      Bagaimana hubungan psikologi antara da’i dan mad’u?


C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian psikologi dakwah;
2.      Mengetahui pengertian da’i dan mad’u;
3.      Mengetahui karakteristik da’i dan mad’u;
4.      Mengetahui hubungan antara da’i dan mad’u;
5.      Mengetahui hubungan psikologi antara da’i dan mad’u;
6.      Memenuhi tugas mata kuliah
7.      Psikologi Dakwah.















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Psikologi Dakwah
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk kejiwaan manusia (Netti Hartati dkk, 2005: 1). Dalam lapangan ilmu pengetahuan, psikologi merupakan salah satu pengalaman yang tergolong dalam “empirikal science”, yaitu ilmu pengetahuan yang didasarkan pada pegalaman manusia. Psikologu menurut bahasa berasal dari kata Yunani yang terdiri dari dua kata, psyche dan logos. Psyche berarti jiwa dan logos berarti ilmu. Jadi, psikologi secara bahasa dapat berarti ‘ilmu jiwa’. Sedangkan para filusuf Yunani, seperti Plato dan Aristoteles mendefinisikan psikologi sebagai ilmu jiwa (psyche) sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya (Faizah dan Lalu Muchsin Effendi, 2006: 1-2).
Dakwah  merupakan suatu aktivitas yang mempunyai tujuan tertentu yang unsur-unsurnya adalah:
a.       Materi dakwah (al khayrul wal huda, al amru bil ma’ruf wan nahyu anil munkar)
b.      Tujuannya (sa’adatul aajil wal aajil, situasi yang lain, mengikuti petunjuk Allah dan Raul-Nya)
c.       Tata caranya (dengan hikmah kebijaksanaan)
d.      Pelaksanaannya (alhitsstsu, memindahkan, mengajak)
e.       Sasaran atau obyeknya (umat manusia atau naas)
Dari unsur-unsur diatas maka dakwah suatu aktivitas yang mendorong manusia memeluk agama Islam melalui cara yang bijaksana dengan materi ajaran Islam agar mereka mendapatkan kesejahteraan kini (dunia) dan kebahagiaan nanti (akhirat) (Masyhur Amin, 1997: 10).
Secara bahasa, dakwah adalah suatu usaha berupa perkataan ataupun perbuatan untuk menarik seseorang kepada suatu aliran atau agama tertentu. Sedangkan secara terminologi, para ulama berpendapat dalam menentukan dan mendefinisikan dakwah. Muhammad al-Khaydar Husayn mengatakan dakwah adalah mengajak kepada kebaikan dan petunjuk, serta menyuruh kepada kabajikan (ma’ruf) dan melarang kepada kemungkaranagar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.  Ahmad Ghaalwasy mendefinisikan dakawah sebagai pengetahuan yang dapat memberikan segenap usaha yang bermacam-macam, yang mengacu kepada upaya penyampaian ajaran Islam kepada seluruh manusia yang mencakup akidah, syariat, dan akhlak. Dari definisi dakwah yang penulis paparkan, para ulama sepakat bahwa dakwah adalah suatu kegiatan untuk menyampaikan dan mengajarkan serta mempraktikan ajaran Islam di dalam kehidupan serhari-hari (Faizah dan Lalu Muchsin Effendi, 2015: 5-7).
Jadi, psikologi dakwah adalah ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala hidup kejiwaan manusia yang terlibat dalam proses kegiatan dakwah. Psikologi dakwah dapat juga didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang tingkah laku manusia yang merupakan cerminan hidup kejiwaannya untuk diajak kepada pengalaman ajaran-ajaran Islam demi kesejahteraan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Tujuan psikologi dakwah adalah membantu dan memberikan pandangan kepada para Da’i tentang pola dan tingkah laku para Mad’u dan hal-hal yang mempengaruhi tingkah laku tersebut berkaitan dengan aspek kejiwaan (psikis) sehingga mempermudah oara Da’i untuk mengajak mereka kepada apa yang dikendaki oleh ajaran Islam (Faizah dan Lalu Muchsin Effendi, 2015: 8-9).





B.       Pengertian Da’i dan Mad’u
1.    Da’i (juru dakwah) adalah salah satu faktor dalam kegiatan yang menempati posisi yang sangat penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan dakwah. Da’i harus mempunyai persiapan-persiapan yang matang baik dari segi keilmuan ataupun dari segi budi pekerti (Faizah, 2015: 97-99).
Dai (Arab: al-dai, al-da’iyyah dan al-du’ah) menunjuk pada pelaku (subjek) dan penggerak (aktivis) kegiatan dakwah, yaitu orang yang berusaha untuk mewujudkan islam dalam semua segi kehidupan baik pada tataran individu, keluarga, masyarakat, umat dan bangsa. Sebagai elaku dan penggerak dakwah, dai tak pelak lagi, memiliki kedudukan penting bahkan sangat penting karena ia dapat menjadi penentu dan keberhasilan dakwah. Dai pada dasarnya adalah penyeru ke jalan Allah, pengibar panji-panji islam, dan pejuang yang mengupayakan terwujudnya sistem islam dalam realitas kehidupan umat manusia (mujahid al-da’wah). Oleh karena itu dai tak identik dengan penceramah (mubaligh).
Sebagai pembangun dn pengembang masyarakat islam, dai menurut Abdullah Nasih ‘Ulwan, harus memerankan sekurang-kurangnya enam tugas atau misi, yaitu sebagai tutor (Muhaddits), edukator (muddaris), orator (khathib), mentor (muhadhir), pembuka dialog (munaqisy wa muhawwir), budayawan (adib), dan penulis (katib). Sementara Al-Huli menetapkan pula enam misi dai sebagai pengenmbang masyarakat islam, yaitu menjadi ideologi (mu’min bi fikrah), dokter sosial (thabib ijtima’i), pengamat dan pemerhati masalah-masalah agama dan sosial (naqid Bashir), pelindung masyarakat (akh al-faqir wa al-ghani), pemimpin agama dan pemimpin politik sekaligus.
Dai bukan penceramah. Penceramah adalah penceramah saja. Dai adalah orang yang meyakini ideologi islam (fikrah). Ia mengajak kepada fikrah islam itu dengan tulisan, ceramah (pidato), pembicaraan biasa, dan dengan semua perbuatannya yang khusus maupun yang umum, serta dengan segala perangkat dakwah yang mungkin dilakukan. Kompetensi ini merupakan kumpulan dari berbagai kebiasaan dan kekuatan (power) yang dimiliki seorang dai, meliputi kekuatan intelektual (knowledge), keterampilan (skill), sikap dan moral (Attitude), dan kekuatan spiritual (spiritual power) yaitu:
1)      Kekuatan intelektual (wawasan keilmuan)
Dalam pandangan ulama besar dunia, Yusuf al-Qardhawi, seorang dai perlu melengkapi diri dengan tiga senjata, yaitu senjata iman (silah al-imani), akhlak mulia (al-akhlaq al-karimah), ilmu pengetahuan, dan wawasan. Senjata iman dan akhlak disebut sebagai bekal spiritual, sedang ilmu dan wawasan disebut bekal intelektual. Jadi, secara umum seorang dai harus melengkapi diri dengan dua bekal, bekal spiritual dan bekal intelektual sekaligus.
2)      Kekuatan moral (akhlak dai)
Disamping wawasan dan kekuatan intelektual seperti ditekankan Qardhawi diatas, Sayyid Quthub menekankan tiga kekuatan lain yang juga penting dan wajib dimiliki oleh para dai dan aktivis pergerakan islam, yaitu kekuatan moral (quwwat al-akhlaq), kekuatan spiritual (quwwat al-‘aqidah wa al-‘ibadah) dan kekuatan perjuangan (quwwat al-jihad) kedua kekuatan yang disebut terakhir ini, yakni kekuatan iman dan jihad diidentifikasikan oleh Musthafa Masyhur sebagai karakter dan ciri dari dakwah pergerakan (dakwah harakah) (Ilyas Ismail, 2011:155).

2.    Mad’u adalah manusia yang merupakan individu atau bagian dari komunitas tertentu (Faizah, 2015: 97-99).
Salah satu unsur dakwah adalah Mad’u yakni manusia yang merupakan individu atau bagian dari komunitas tertentu (Faizah dan Lalu Muchsin Effendi, 2015: 70).
Secara bahasa kata mad’u berasal dari bahasa Arab yakni bentuk isim maf’ul (kata yang menunjukan objek atau sasaran). Sedangkan menurut istilah Mad’u merupakan orang atau kelompok yang lazim disebut dengan jamaah yang sedang menuntut ajaran agama dari seorang Da’i, baik mad’u itu orang dekat atau jauh, muslim atau non-muslim, laki-laki atau perempuan. Seorang Da’i akan menjadikan mad’u sebagai objek atau sasaran dakwah yang akan ia sampaikan.
Mad’u adalah objek dakwah bagi seorang Da’i yang bersifat individual, kolektif atau masyarakat umum. Masyarakat sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah merupakan salah satu unsur yang penting dalam dakwah (Siregar, 2012).

C.    Karakteristik Da’i dan Mad’u
1.      Sifat-sifat da’i:
a.       Beiman dan bertakwah kepada Allah SWT
Seorang Da’i tidak mungkin menyeru Mad’u-nya (sasaran dakwah) beriman kepada Allah SWT. Sifat dasar Da’i dijelaskan Allah SWT. dalam Al Qur’an:
۞أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ وَأَنتُمۡ تَتۡلُونَ ٱلۡكِتَٰبَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ ٤٤
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir” (QS. Al-Baqarah: 44)
b.      Ahli Taubat
Sifat taubat dalam diri Da’i, berarti ia harus mampu untuk lebih menjaga atau takut untuk berbuat maksiat atau dosa dibandingkan orang-orang yang menjadi Mad’u-nya.
c.       Ahli Ibadah
Seorang Da’i adalah mereka yang selalu beribadah kepada Allah dalam setiap gerakan. Seperti dalam firman Allah SWT dibawah:
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦٢
“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al An’am: 162)
d.      Amanah dan Shidq
e.       Pandai Bersyukur
Orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang merasakan karunia Allah dalam dirinya, sehingga perbuatan dan ungkapan merupakan realisasi dari rasa kesyukuran tersebut.
Sedangkan sifat seorang Da’i menurut Asmuni dalam bukunya adalah sebagai berikut:
a.          Iman dan taqwa kepada Allah.
Oleh karena itu ia di dalam membawa missi dakwahnya diharuskan terlebih dahulu dirinya sendiri dapat memerangi hawa nafsunya, sehingga diri pribadi ini lebih taat kepada Allah dan Rasulnya dibandingkan dengan sasaran dakwahnya.
b.         Tulus ikhlas dan tidak mementingkan kepentingan diri pribadi.
Niat yang lurus tanpa pamrih dunyawiyah belaka, salah satu sarat mutlak yang harus dimiliki oleh seoeang da’i. Sebab dakwah adalah pekerjan yang bersifat ubudiyah atau terkenal dengan istilah hablullah, yakni amal perbuatan yang berhubungan dengan Allah. Sifat ini sangat menentukan keberhasilan dakwah, salah satu contoh pengalaman penulis disaat memperjuangkan agama Allah didalam hati terdapat benih-benih niat yang tidak ikhlas yakni mengingkan sesuatu yang bersifat dunyawiyah, senantiasa mengalami kekecewaan dan kegagalan. Memang ihklas adalah perbuatan hati, oleh karena itu seorang da’i di dalam membawa missi dakwahnya terhadap masyarakat. Singkatnya berjuang dijalan Allah (berdakwah) haruslah dapat menanggulangi niat negatif yakni keinginan akan tiga (harta, wanita dan tahta). Dengan kata lain mempunyai sifat tulus ikhlas.
c.          Ramah dan penuh pengertian.
Dakwah adalah pekerjaan yang bersifat propaganda kepada orang lain. Propaganda dapat di terima orang lain, apabila yang mempropagandakan berlaku ramah, sopan dan ringan tangan untuk melayani sasarannya (objeknya). Tak ubahnya dalam dunia dakwah, jika seorang da’i mempunyai kepribadian yang menarik, karena keramahan, kesopanan dan keringan-tangannya insyaallah akan berhasil dakwahnya.
d.         Tawadu’.
Rendah hati bukanlah semata-mata merasa dirinya terhina dibandingkan dengan derajat dan martabat orang lain, akan tetapi tawadu’(rendah hati) seorang da’i adalah tawadu’ yang berarti sopan dalam pergaulan, tidak sombong dan tidak suka menghina dan menela orang lain. Dengan kata lain tawadlu’ adalah andap asor (dalam bahasa jawa).
e.          Sederhana dan jujur.
Kesederhanaan adalah merupakan pangkal keberhasilan dakwah. Sederhana bukanlah berarti di dalam kehidupan sehari-hari selalu ekonomis dalam memenuhi kebutuhannya, akan tetapi sederhana disini adalah tidak bermegah-megahan, angkuh dan lain sebagainya. Sehingga dengan sifat sederhana ini orang tidak merasa segan, takut kepadanya.
Sedangkan kejujuran adalah sebagai penguatnya orang akan percaya terhadap segala ajakannya, apabila sang pengajak dapat di percaya tidak pernah menyelisihi apa yang dikatakannya. Sebagaimana Rasulullah SAW seorang pembawa agama (da’i) memiliki beban amanah (dapat dipercaya).
f.          Tidak memiliki sifat angkuh.
Ego adalah suatu watak yang menonjolkan akunya, angkuh dalam pergaulan merasa dirinya terhormat, lebih pandai dan sebagainya. Sifat inilah  yang harus di jauhi betul-betul oleh sang juru dakwah.
g.         Sifat anthusiasme (semangat).
h.         Sabar dan tawakal.
Dakwah adalah melaksanakan perintah Allah, yang di wajibkan kepada seluruh umat.
i.          Memilih jiwa tolerans
j.           Sifat terbuka (demokrasi).
k.         Tidak memiliki penyakit hati
Sombong, dengki, ujub, iri, dan sebagainya haruslah disingkirkan dalam hati sanubari seorang yang hendak dakwah (Asmuni,1983:35-43).
2.      Sikap Seorang Da’i
Da’i merupakan cerminan dari perkataannya. Sikap iseal yang harus dimiliki oleh da’i adalah:
a.       Berakhlak mulia
Berbudi pekerti yang baik (berakhlakul karimah) adalah syarat mutlak yang harus dimiliki oleh siapapun terlebih seorang Da’i.
b.      Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani
Ing ngarso sung tulodho, berarti da’i harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat. Ing madya mangun karso berarti seorang da’i berada di tengah-tengah massa hendaklah dapat memberikan semangat agar mereka senantiasa mengikuti semua ajakan da’i. Tut wuri handayani berarti da’i hendaknya mengikuti mad’u dengan membimbing-bimbingnya agar lebih meningkat keimanannya.
c.       Disiplin dan bijaksana
Disiplin dalam arti luas dibutuhkan oleh seorang da’i dalam mengemban tugasnya sebagai mubaligh. Begitupun bijaksana dalam menjalankan tugas sangat berperan dalam menunjang keberhasilan dakwah.
d.      Wara’ dan berwibawa
Sifat wara’ adalah menjauhkan perbuatan-perbuatan yang kurang berguna dan mengindahkan amal saleh, sikap ini menimbulkan kewibawaan seorang da’i.sebab kewibawaan merupakan faktor yang memengaruhi seseorang untuk percaya menerima satu ajakan.
e.       Berpandangan luas
Seorang da’i dalam menentukan strategi dakwahnya sangat perlu berpandangan jauh, tidak fanatik pada satu golongan saja dan waspada dalam menjalankan tugasnya. Berpandangan luas  dapat berarti bijaksana dan arif dalam melihat dan menyelesaikan segala permasalahan hanya dari satu sudut pandang dan mengabaikan sudut pandang yang lain.
f.       Berpengetahuan yang cukup
Seorang da’i seyogianya harus mempunyai pengetahuan yang cukup, dari segi ilmu pengetahuan, pengetahuan tentang Al Qur’an dan hadits  juga pengetahuan yang berhubungan dengan mad’u baik bahasa,tradisi, psikologi, budaya, temperamen (emosional) mad’u (Faizah, 2015: 97-99)

D.      Hubungan antara Da’i dan Mad’u
Dalam berdakwah seorang Da’i harus memahami Mad’u-nya. Bisa dicontohkan dengan seorang Da’i ingin berdakwah, di dalam kajiannya maka sebelum itu harus menguasai materi yang akan disampaikan. Seorang Da’i juga harus memahami kondisi sararan yang akan di dakwahkannya yaitu baik dari segi umur, geografis, pendidikan, kondisi masyarakat dan lain-lain, agar dalam Da’i tersebut berdakwah, tujuan yang ada dalam materi yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh Mad’u atau objek dakwahnya. Dan seorang Mad’u dalam mendengarkan ceramah dari Da’i harus fokus terhadap materi yang di sampaikan oleh Da’i dan menghilangkan pikiran-pikiran yang tidak  penting, sehingga materi yang telah di sampaikan oleh seorang Da’i kepada Mad’u dapat tersampaikan dengan jelas serta dapat mengamalkannya.
Jadi hubungan antara Da’i dan Mad’u mempunyai hubungan yang sangat erat, karena dalam proses berdakwah jika tidak ada dari salah satunya maka proses dalam berdakwah tidak akan berjalan dengan baik (Faizah, 2015: 138).


E.     Hubungan Psikologi antara Da’i dan Mad’u
Dari psikologi sendiri yaitu suatu ilmu yang membahas tentang kejiwaan manusia atau tingkah laku manusia yang merupakan cerminan hidup kejiwaannya, serta dalam berdakwah itu sendiri dapat di sebut sebagai Da’i dan Mad’u karena terjalinnya komunikasi untuk menyampaikan dan mengajarkan ajran-ajaran Islam. Dalam hal ini Da’i dan Mad’u mempunyai hubungan yang sangat erat seperti yang sudah dipaparkan di atas. Dalam kaitannya dengan psikologi yaitu mendapati kejiwaan atau penyakit-penyakit masyarakat yang bersifat psikis dalam rohani pikiran Da’i dan Mad’u agar dapat menjadi lebih baik lagi dengan mengajak, memotivasi, merangsang serta membimbing individu atau kelompok melalui ajaran agama Islam yang sesuai dengan syariat Islam yang ada (Faizah, 2015: 4-7).
















BAB III
KESIMPULAN

1.      Psikologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk kejiwaan manusia.
2.      Dakwah  merupakan suatu aktivitas yang mempunyai tujuan tertentu yang unsur-unsurnya adalah:
a.       Materi dakwah (al khayrul wal huda, al amru bil ma’ruf wan nahyu anil munkar)
b.      Tujuannya (sa’adatul aajil wal aajil, situasi yang lain, mengikuti petunjuk Allah dan Raul-Nya)
c.       Tata caranya (dengan hikmah kebijaksanaan)
d.      Pelaksanaannya (alhitsstsu, memindahkan, mengajak)
e.       Sasaran atau obyeknya (umat manusia atau naas)
3.      Psikologi dakwah adalah ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala hidup kejiwaan manusia yang terlibat dalam proses kegiatan dakwah.
4.      Da’i (juru dakwah) adalah salah satu faktor dalam kegiatan yang menempati posisi yang sangat penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan dakwah.
5.      Mad’u adalah objek dakwah bagi seorang Da’i yang bersifat individual, kolektif atau masyarakat umum. Masyarakat sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah merupakan salah satu unsur yang penting dalam dakwah.
6.      hubungan antara Da’i dan Mad’u mempunyai hubungan yang sangat erat, karena dalam proses berdakwah jika tidak ada dari salah satunya maka proses dalam berdakwah tidak akan berjalan dengan baik.



DAFTAR PUSTAKA

Amin, Masyhur. 1997.  Dakwah Islam dan Pesan Moral. Yogyakarta: Al Amin Pres
Faizah dan Lalu Muchsin Efendi. 2015. Psikilogi Dakwah. Jakarta: Prenadamedia Grup.
Hartati, Neti dkk. 2004. Islam dan Psikologi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Ismail, Ilyas. 2011. Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan     Peradaban Islam. Jakarta: Prenadamedia Group.
Syukir, Asmuni. 1983. Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam. Al-Ikhlas:Surabaya.
Siregar, Lis Yulianti Syafrida. (2012). Psikologinya Dakwah. 26.
















Komentar

Posting Komentar