BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari sudut teori sosial dan politik yang baku,
mengkaitkan persoalan hubungan antara sipil dan militer dengan masyarakat sipil
sebenarnya kurang relevan. Sebab, pada mulanya konsepsi masyarakat sipil atau
masyarakat madani (civil society) itu tidak terkait dengan masalah kependudukan
militer dalam politik terutama dalam hubungannya dengan sipil.
Oleh sebab itu, upaya membangun masyarakat
madani, yang berarti membongkar struktur politik yang otoriter, tidak dapat
dihindarkan dari persoalan posisi militer di dalam politik dan ketatanegaraan Indonesia.
Pada perkembangannya lebih lanjut, masyarakat sipil sering di pahami sebagai
kawasan privat yang dilawankan dengan kawasan publik untuk kemudian merambah
pada persoalan tentang posisi negara di dalam kapitalisme.
Keinginan untuk membangun masyarakat sipil
memang harus diikuti dengan redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi peran
militer di Indonesia, terutama dalam hubungannya dengan sipil yang harus
disertai dorongan kuat bagi militer untuk bekerja diatas prinsip-prinsip
profesionalisme disertai denan penyediaan fasilitas dan penempatan militer posisi
yang bermartabat sebagai alat negara.
B. Rumusan Masalah
1.
Kapan
dan bagaimana munculnya pemerintahan?
2.
Apa
tujuan utama terbentuknya pemerintahan?
3.
bagaimana peranan pemerintah sipil dan pemerintah
militer?
4.
Bagaimana bentuk pemerintahan sipil dan
pemerintahan militer?
5.
Bagaimana hubungan sipil-militer di Indonesia?
6.
Apa
tugas dan wewenang ketiga lembaga pemerintahan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Munculnya Pemerintah
Munculnya
suatu negara atau pemerintahan pada awalnya ketika lahirnya kebutuhan bersama
manusia akan ketertuban hidup dan aturan-aturan hukum yang berlaku secara sah (Ubaidillah,
2000: 96).
Sebelum
dikenal pemerintahan seperti sekarang ini, manusia hidup dalam suasana konflik
untuk mempertahankan diri sendiri. Pemaksaan dan pelanggaran hak orang lain
dilakukan oleh mereka yang kuat terhadap yang lemah. Dalam keadaan demikian
huru hara dan kekacauan tidak dapat dihindarkan dari keseharian manusia. Mereka
yang kuatlah yang menikmati kebebasan. Keadilan dan ketertiban merupakan suatu
ilusi. Sampai lahir kesadaran dari kalangan orang kuat yang selanjutnya menjadi
bijaksana untuk menciptakan situasi masyarakat yang teratur dan bagaimana ketertiban
itu dapat di pelihara (Ubaidillah, 2000: 95).
Pelaku
penindasan, perampokan, dan pemerkosaan harus dihukum. Pada fase awal pemberian
hukuman dilakukan melalui tindakan penyiksaan fisik seperti pemotongan tangan,
cambuk dan penyaliban. Seiring dengan perkembangan dan pesatnya peradaban
manusia diciptakan instuisi sebagai usaha perbaikan atau rehabilitasi, yaitu
penjara. Dari sini pula masyarakat
bersepakat bahwa hanya pemerintah yang berhak membuat penjara dan hanya penjarayang
dimiliki pemerintah secara absah dimana para pelanggar hukum selayaknya dibina.
Keberadaan suatu negara atau pemerintahan tergantung kepada ada atau tidaknya
hukum yang menjadi aturan masyarakat di dalamnya. Artinya tidak ada
pemerintahan tanpa hukum, dan tidak ada hukum tanpa pemerintahan. Hukum adalah
jiwa dari setiap kekuasaan negara (Ubaidillah, 2000: 96).
B.
Tujuan Utama
Terbentuknya Pemerintahan
Pada dasarnya setiap orang tidak menghendaki
hak-haknya diganggu atau dilanggar oleh siapapun. Bahkan mereka berusaha agar
hak-hak asasinya dilindungi. Dengan hukum dan aturan, manusia dapat hidup bebas
tanpa rasa takut. Tujuan utama terbentuknya pemerintah sendiri tidak lain
adalah untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). Dimana hak-hak dasar tersebut
diantaranya adalah hak untuk hidup bebas (liberty) berbicara dan berekspresi,
beragama dan bercita-cita sebagainya dan hak untuk memiliki sesuatu(property)
baik materi maupun non materi, hak untuk hidup (life) tanpa rasa takut dan
ancaman dari siapapun. Sehingga suatu sistem dimana masyarakat bisa menjalani
kehidupan mereka secara wajar tetap terjaga (Ubaidillah, 2000: 96-97).
Dalam
sebuah negara demokrasi, warganegara bersepakat untuk diatur oleh pemerintahan
yang mereka bentuk sendiri. Menurut mereka, dalam masalah pengaturan atau
perlindungan HAM, pemerintah yang terbaik untuk menjalankan fungsi tersebut. Warganegara
demokratis memandang pemerintahan yang mereka bentuk dengan segala
aturan-aturannya merupakan perwujudan dari legitimasi kekuasaan (Ubaidillah,
2000: 96).
C.
Pemerintahan sipil dan pemerintahan militer
1. Pemerintahan sipil
Secara
etimologi, kata pemerintahan dapat diartikan sebagai badan yang melakukan
kekuasaan memerintah. Istilah pemerintah sipil digunakan sebagai kebalikan dari
istilah pemerintah militer. Kedua istilah ini muncul ketika terjadi pembahasan
tentang pola hubungan antara elit sipil yang diwakili oleh para politisi Yng
dipilih rakyat dalam pemerintahan umum (pemilu) dengan elit militer dalam suatu
pemerintahan (Ubaidillah, 2000: 97).
2.
Pemerintahan militer
Konsep pemerintahan militer lebih banyak
mengacu pada fenomena keterlibatan atau intervensi militer dalam area politik
atau urusan-urusan pemerintahan suatu negara. Dalam konteks pemerintahan
moderen campur tangan korp militer dalam area politik di rujuk dengan beberapa
sebutan diantaranya, “prajurit berkuda” karena
posisi tradisional para perwira militer tersebut sebagai penunggang
kuda. Mereka juga di kenal dengan istilah “tentara berbaju sipil” karena korp
militer sering menggantikan lencana militer dan pakaian seragamnya dengan gelar
dan pakaian sipil (Ubaidillah, 2000:103)
Campur tangan militer terhadap pemerintahan
sipil melalui beberpa cara yang kemudian menjadi ciri khas rezim militeristik.
Diantara bentuk campur tangan militer itu antara lain:
a. Ancaman militer secara terang-terangan untuk tidak melakukan kudeta
terhadap pemerintahan sipil jika tuntutan yang mereka ajukan di kabulkan.
b. Mengambil alih kekuasaan pemerintah dan mengubah rejim sipil menjadi rejim
militer (Ubaidillah, 2000:104).
Sedangkan ciri-ciri rejim militer (sekalipun pimpinannya
telah mengganti atribut-atribut militer dengan atribut sipil, seperti presiden
atau perdana menteri) adalah:
a. Tentara mendapatkan kekuasaannya melalui kudeta.
b. Para pejabat tinggi negara telah bertugas atau terus bertugas dalam
angkatan besenjata.
Pemerintahan masih terus bergantung kepada
dukungan perwira militer aktif dalam mempertahankan kekuasaannya (Ubaidillah,
2000: 104).
D. Bentuk Pemerintahan Sipil dan Pemerintahan
1.
Sipil
a.
Model Tradisional
Pemerintahan
sipil model ini adalah yang tidak memiliki perbedaan yang jelas antara elit
sipil dan militer. Model ini merupakan gambaran pemerintah kerajaan di Eropa
abad 17 dan 18, dengan pendukung utamanya terdiri dari golongan aristokrat
Eropa baik dari kalangan elit sipil maupun elit
militer.
b. Model Liberal
Pemerintah
sipil jenis ini adalah pemerintah yang mendasarkan pada pemisahan para elitnya
menurut keahlian dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan jabatan nya
dalam pemerintahan. Posisi militer dalam model pemerintahan ini berada di bawah
kendali sipil, kekuasaanya dibatasi pada tanggung jawab mempertahankan negara
dari serangan luar dan kekuasaan yang timbul di dalam negeri.
c. Model Serapan
Model
ini adalah suatu pemerintahan sipil dengan karakteristik kebijakan sipil untuk
mendapatkan pengabdian dan loyalitasnya melalui penanaman ide dan penempatan
para ahli politik kedalam tubuh angkatan bersenjata. Model pemerintahan ini
telah banyak di praktekan secara meluas dalam rejim-rejim komunis. Prinsip
pemerintahan model ini adalah bahwa partai (sipil) harus menguasai senjata dan
senjata tidak akan dibenarkan untuk menguasai partai (Ubaidillah, 2000: 101-103).
2. Militer
a. Moderator Pretorian
Ciri
khas meoderator pretorian adalah mereka menggunakan hak veto atas keputusan
pemerintahan dan politik, tanpa menguasai pemerintahan itu sendiri. Kelompok
pretorian ini bertindak sebagai kelompok yang berpengaruh dan terlibat dan
terlibat dalam politik. Model modertor pretorian ini tidaklah begitu menonjol
dibanding dengan jenis pretorian yang lain. Model ini mencoba menghindarkan
dirinya untuk menguasai atau mendominasi pemerintahan secara penuh. Dapat
disimpulkan bahwa kelompok militer ini merupakan kekuatan politik konservatif
yang lebih menyukai untuk mengalihkan perubahan daripada pelaksanaannya yang
dapat diperoleh dengan cara menggunakan kuasa mutlak tanpa harus menguasai
pemerintahan (Ubaidillah, 2000: 105-106).
b. Pengawal pretorian
Pemerintahan
militer model ini merupakan fase lanjutan dari model moderator pretorian. Jika
yang pertama bersifat konserfativ, kelompok ini lebih bersifat reaksioner
terhadap kebijakan sipil ketika menjalankan pemerintahannya. Perbedaan mecolak
kelompok kelompok ini adalah keyakinan mereka bahwa sasaran atau agenda politik
yang mereka canangkan akan lebih mudah dicapai apabila mereka sendiri yang
menguasai pemerintahan. (Ubaidillah, 2000: 106-107).
c. Penguasa proterian
Pemerintahan
model ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan kedua model pemerintahan
militer. Kasus pemerintahan model ini tidak lebih dari 10 persen dari kasus
campur tangan militer terhadap pemerintahan suatu negara. Yang membedakan
kelompok ini dari model lainnya adalah luasnya wilayah kekuasaan serta
tingginya cita-cita politik dan ekonomi yang mereka agendakan. Model ketiga ini
tidak saja menguasai pemerintahan tapi juga mendominasi rejim yang berkuasa,
bahkan kadang kala mencoba meguasai sebagian besar kehidupan politik-ekonomi
dan sosial melalui pembentukan struktur melalui pembentukan struktur melalui
cara-cara mobilisasi. Jika kelompok pengawal proterian berkuasa dalam tempo
sementara dan berjanji akan mengembalikan kekuasaan ke tangan sipil dalam waktu
singkat, sebaliknya penguasa pretorian tidaklah demikian. Umumnya mereka
mengatakan bahwa rejim sipil akan dipulihkan kembali. (Ubaidillah, 2000: 107-108).
E. Hubungan Sipil-Militer Di Indonesia
Menurut Ikrar Nusa Bhakti, secara umum di
negara-negara Barat terhadap model hubungan sipil-militer yang menekankan
“supremasi sipil atas militer” (civilian supremacy upon the military), atau
militer adalah subordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih secara
demokratis melalui pemilihan umum. Tetapi pada kasus negara-negara berkembang
termasuk Indonesia hubungan sipil-militer di negara ini tidaklah dapat
disamakan dengan kenyataan hubungan sipil-militer di negara-negara Barat yang
membedakan secara tegas antara sipil dengan militer. Pandangan umum Barat ini
pada kenyataannya tidaklah menggambarkan kenyataan hubungan sipil-militer
Indonesia yang sesungguhnya.
Pada
kenyataannya makna hubungan sipil-militer di Indonesia lebih mengandung
pengertian adanya “kerja sama”, “hubungan kemitraan”, atau “keselarasan antara
sipil dan militer”. Secara historis pola hubungan sipil-milter Indonesia lebih
banyak merupakan suatu pembagian peran antara sipil-militer yang sangat nyata
pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1949).
F.
Tugas dan Wewenang Ketiga Lembaga Pemerintahan
1. Legislatif
Badan Legislatif adalah lembaga yang
“legislate” atau membuat undang-undang. Anggota-anggotanya dianggap mewakili
rakyat; karena itu badan ini sering dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat;nama
lainnya yang sering di pakai ialah Parlemen. Dalam negara modern pada umumnya
bada legislatif dipilih dalam pemilihan umum dan berdasarkan sistem kepartaian.
Perwakilan semacam ini bersifat politis, akan tetapi sistem ini tidak menutup
kemungkinan beberapa orang anggota dipilih tanpa ikatan pada suatu partai
politik, tetapi sebagai orang independen”.
Badan Legislatif mempunyai beberapa hak yaitu:
a. Hak bertanya: anggota badan legislatif berhak untuk mengajukan pertanyaan
kepada pemerintah mengenai suatu hal.
b. Hak Interpelasi: anggota badan legislatif mempunyai hak untuk meminta
keterangan kepada pemerintah mengenai kebijaksanaannya tentang suatu bidang.
c. Hak angket: anggota badan legislatif berhak untuk mengadakan penyelidikan
sendiri. Untuk keperluan ini dapat dibentuk suatu panitia angket yang
melaporkan hasil penyelidikannya kepada anggota badan legislatif lainnya, yang
selanjutnya merumuskan pendapatnya mengenai soal ini, dengan harapan agar
diperhatikan oleh pemerintah.
d. Hak mosi: umumnya hak ini merupakan
hak kontrol yang paling ampuh. Jika badan legislatif menerima suatu mosi tidak
percaya, maka dalam sistem parlementer kabinet harus mengundurkan diri.
2. Eksekutif
Kekuasaan
eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Di negara-negara demokratis
badan-badan eksekutif biasanya terdiri dari kepala negara seperti raja atau
presiden, beserta menteri-menterinya. Badan eksekutif dalam arti yang luas
mencakup juga para pegawai negeri sipil dan militer. Dalam sistem presidensil
menteri-menteri merupakan pembantu persiden dan langsung dipili olehnya,
sedangkan dalam sistem parlementer para menteri dipilih oleh seorang perdana
menteri.
Wewenang badan eksekutif mencakup beberapa
bidang:
a. Diplomatik: menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain;
b. Administratif: melaksanakan undang-undang serta peraturan-peraturan lain
dan menyelengarakan administrasi negara;
c. Militer: mengatur angkatan bersenjata, menyelenggarakan peran serta
keamanan dan pertahanan negara;
d. Yudikatif: memberi grasi, amnesti dan sebagainya;
e. Legislatif: merencanakan rancangan undang-undang dan membimbingnya dalam
badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang-undang.
3. Yudikatif
Lembaga
Yudikatif memiliki wewenang judisialyang bertugas menjalankan wewenang
kehakiman,baik dilapangan maupun hukum publik (pidana, administrasi negara) dan
dilapangan hukum privat (perdata, dagang), baik dikalangan sipil maupun
militer.
DAFTAR PUSTAKA
Mahfudz Moh. MD, 2010; Perdebatan Hukum Tata Negara Pacaamandeman
Konstitusi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Ubaidilah A., Abdul Rozak, dkk, 2000; Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi,
HAM & Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta.
Komentar
Posting Komentar